Jumat, 03 Mei 2013

Makalah Fiqh Ibadah Qurban


IBADAH QURBAN
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas: FIQIH
Dosen Pengampu: Kurnia Muhajaroh, M.S.I












Di susun oleh:
Ilyana Rohmatin Nuzul (113711023)
Imron Rosadi                 (113711024)
Intan Rizqiaa Fajariyah  (113711025)


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013

IBADAH QURBAN

I.          PENDAHULUAN
Syariat Qurban merupakan warisan ibadah yang paling tua. Karena berqurban mulai diperintahkan saat Nabi Adam AS tidak menemukan cara yang adil dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan qurban untuk membuktikan siapa yang diterima. Habil berqurban dengan ternaknya unta dan Qabil berqurban dengan tanamannya gandum.
Habil dengan ikhlas mempersembahkan udhiyahnya dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan perintah berudhiyah, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Sebenarnya istilah yang baku bukan berqurban, tetapi menyembelih hewan udhiyah. Sebab kata “Qurban” artinya mendekatkan diri kepada Allah. Padahal yang disunnahkan adalah melakukan ibadah ritual melakukan ibadah ritual yaitu menghilangkan nyawa hewan udhiyah, baik dengan cara dzabh (menyembelih) atau nahr (menusuk leher unta dengan tombak), sebagai bentuk ritual peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Peristiwa berudhiyah paling fenomenal Ibrahim AS. Ibrahim yang menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan Allah swt untuk menyembelih putra semata wayangnya, Ismail AS. Ujian berat menimpanya, antara melaksanakan perintah Allah SWT atau membiarkan putranya hidup dengan tidak melaksanakan perintah Allah SWT, putranya nanti akan melanjutkan perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Namun, Ibrahim sudah teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan perintah Allah swt.

II.       RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimanakah Dasar Hukum dan Ketentuan Berkurban?
B.     Bagaimanakah Ketentuan-Ketentuan Binatang Kurban ?
C.     Bagaimanakah Tata Cara dan Waktu Penyembelihan Hewan Kurban?
D.    Bagaimanakah Pembagian Daging Kurban Pada Masa Sekarang?


III.     PEMBAHASAN
A.    Dasar Hukum dan Ketentuan Berkurban
a.   Dasar Hukum berkurban
Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam sebagai udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu.
Udhiyah atau dalam bahasa kita disebut qurban dalam istilah fuqaha (para ahli fiqih) adalah: “Binatang peliharaan yang disembelih pada hari-hari penyembelihan disebabkan datangnya hari raya Idul Adha, untuk mendekatkan diri kepada Allah”.  Sedangkan kata al-Udhiyah itu sendiri diambil dari kata dhuha, yang artinya waktu dhuha. Dikatakan demikian lantaran waktu shalat Idul Adha dan menyembelihnya Rasulullah SAW adalah pada waktu dhuha. Demikianlah Rasulullah SAW menyembelih binatang qurbannya pada waktu dhuha setelah shalat Idul Adha. Ini bukan berarti selain waktu dhuha dilarang menyembelih, bahkan seandainya menyembelih qurban dilakukan pada sore atau malam hari, selama dalam waktu yang dibolehkan maka penyembelihan itu tetap sah, karena waktu dhuha itu adalah waktu yang disunnahkan.[1]
Qurban adalah binatang yang disembelih guna ibadah kepada Allah pada hari raya idul adha dan tiga hari berikutnya (hari tasyrik) 11 sampai 13 Dzulhijah. Hukum berqurban itu menurut beberapa ulama wajib dan sebagian adalah sunnah muakkad. Firman Allah Al-Kautsar ayat 1-2
!$¯RÎ) š»oYøsÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ   Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ    
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.”
Dari Abu Hurairah, telah berkata Rasulullah saw
من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
      “Barang siapa yang mempunyai kemampuan lebih namun ia tidak berkurban maka janganlah ia menghampiri tempat sembahyang kami” Riwayat Ahmad dari Ibnu Majah.
šcôç7ø9$#ur $yg»oYù=yèy_ /ä3s9 `ÏiB Ύȵ¯»yèx© «!$# ö/ä3s9 $pkŽÏù ׎öyz ( (#rãä.øŒ$$sù zNó$# «!$# $pköŽn=tæ ¤$!#uq|¹ ( #sŒÎ*sù ôMt7y_ur $pkæ5qãZã_ (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur yìÏR$s)ø9$# §ŽtI÷èßJø9$#ur 4 y7Ï9ºxx. $yg»tRö¤y öNä3s9 öNä3ª=yès9 tbrãä3ô±s? ÇÌÏÈ  
Artinya:
Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al Hajj : 36)

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyembelih hewan kurban:
1.      Malik dan Syafi’I, berpendapat bahwa hukum menyembelih hewan kurban adalah sunah muakad. Akan tetapi, Malik memberikan keringanan kepada orang yang mengerjakan haji sewaktu di Mina untuk tidak menyembelih hewan kurban. Syafi’I tidak membedakan antara orang yang sedang beribadah haji dengan yang lain.
2.      Abu Hanifah berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban diwajibkan kepada orang-orang kaya yang menetap di kota-kota, dan tidak diwajibkan kepada orang-orang yang sedang safar (bepergian jauh).
3.      Pendapat Abu Hanifah di atas ditentang oleh dua orang pengikutnya, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad. Mereka mengatakan bahwa menyembelih hewan kurban itu tidak wajib.[2]
Sebagaimana dikatakan di atas, pada dasarnya hukum qurban adalah sunat bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat. Akan tetapi, hukum qurban menjadi wajib dikarenakan beberapa alasan:
1)      Bagi seseorang yang bernadzar.
Sebagaimana  sabda Rosulullah SAW :
مَن نَذَرَانْ يُطِيـعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Siapa yang bernadzar untuk pekerjaan taat kepada Allah, Hendaklah ia melakukannya”
Bahkan sampai orang yang bernadzar itu meninggal dunia, sesungguhnya boleh diwakilkan oleh orang lain yang ia berikan mandate untuk itu, ketika ia masih hidup
2)      Kedua karena ucapan
Apabila seseorang berkata “Ini milik Allah atau ini Binatang qurban” atau yang semakna dengan itu, maka hukum qurban baginya menjadi wajib. Menurut imam Malik, jika waktu membeli diniatkan untuk diqurbankan maka menjadi wajib.
b.      Ketentuan berqurban
Syarat-syarat sah qurban yaitu:
1.      Terkait dengan hewan qurban
a)   Termasuk dari an'am (unta, sapi, dan kambing) baik jantan atau betina
b)   Cukup umur
c)   Bebas dari cacat yang jelas (buta sebelah, sakit, kurus kering, pincang, dan cacat yang setara atau lebih parah)
d)  Milik pequrban
e)   Tidak terikat dengan hak orang lain, misalnya menjadi agunan
2.      Terkait dengan pequrban
a)      Niat
b)      Khusus untuk qurban bersama misalnya satu sapi atau unta untuk tujuhorang  harus satu niat untuk qurban. Tidak sah bila salah seorang di antaranya berniat untuk dapat daging semata

B.     Ketentuan-Ketentuan Binatang Kurban
a.      Kriteri Hewan Kurban
1.   Memilih Jenis Hewan Kurban
Para ulama sepakat memperbolehkan qurban dengan seluruh binatang ternak. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai hewan ternak yang paling utama.Maliki berpendapat bahwa hewan yang paling utama untuk berqurban adalah kibasy (jenis domba), kemudian sapi jantan, dan yang terakhir adalah unta. Menurutnya, ini merupakan urutan kebalikan untuk hewan hadya yang sebagaimana yang sudah dibicarakan pada bab Haji. Akan tetapi, diriwyatakan pula darinya dengan urutan yaitu unta, lalu sapi jantan dan kibasy.
Syafi’i berpendapat bahwa kebalikan dari pendapat yang dikemukakan Malik mengenai urutan jenis hewan kurban, yaitu unta, sapi jantan, kemudian kibasy. Pendapat ini disepakati pula oleh Asyhab dan Ibnu Syu’ban.
2.   Memilih Sifat Hewan Kurban
Para ulama sepakat bahwa dalam berkurban disunahkan menghindarkan hewan yang pincang, sakit, dan kurus karena merujuk kepada hadis Al Barra bin ‘Azib, “Sesunguhnya Rasulullah saw. pernah ditanya, ‘Hewan-hewan kurban kurban apa saja yang tidak boleh dipilih?’ Lalu beliau SAW memberikan isyarat dengan tangannya, dengan bersabda, ‘Empat.” Waktu itu Al Barra member isyarat dengan tangannya, dan mengatakan, “Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah saw., yang empat itu adalah hewan pincang, hewan yang rusak matanya, hewan yang sakit, dan hewan yang kurus.”
Mereka juga sepakat bahwa jika keempat sifat itu hanya sedikit, maka boleh dikurbankan. Mereka berbeda pendapat dalam dua hal:
a)      Kecacatan yang lebih parah dari yang dinaskan, seperti buta dan kakinya patah.
b)      Kecacatan yang sama dengan yang telah dinaskan, dalam hal ketidakutuhannya, yakni cacat-cacat yang terdpat pada telinga, mata, ekor, gigi geraham, dan pada anggota-anggota tubuh lainnya.
Mengenai hal pertama, jumhur ulama’ telah sepakat bahwa kecacatan yang lebih parah daripada kecacatan yang telah dinaskan dalam hadis di atas, tidak memenuhi syarat untuk untuk kurban
3.   Umur Hewan Kurban yang Disyaratkan
Para ulama sepakat bahwa kambing yang berumur satu tahun lebih tidak dapat dijadikan kurban, tetapi harus kambing yang berumur dua tahun keatas. Hal itu karena ada sabda Nabi saw. kepada Abu Burdah tatkala Beliau menyuruhnya agar mengulangi kurbannya, “Kambing yang berumur dua tahun ke atas memenuhi syarat buat kamu untuk berkurban, sedangkan kambing yang berumur satu tahun lebih tidak dapat memenuhi syarat berkurban.”
Mereka berbeda pendapat mengenai dha’n (domba) yang berumur satu tahun lebih:
a.       Jumhur ulama’ sepakat memperbolehkan dha’n yang berumur satu tahun lebihuntuk kurban
b.      Segolongan ulama’ yang lain berpendapat bahwa yang diperbolehkan untuk kurban haruslah dha’n yang berumur dua tahun lebih
perbedaan pendapat diantara mereka timbul karena bertentangannya hadis yang mknanya umum dengan hadis yag maknanya khusus.
adapun ulama’ yang membiarkan hadis khusus apa adanya disamping hadis umum, sesuai dengan pendapat yang masyhur dikalangan jumhur ushuliyah, maka dia mengecualikan jadza’ah dha’n (domba yang berusia satu tahun lebih) yang disebutkan dalam hadis khusus tersebut. Ini adalah pendapat yang paling utama.
Sedangkan untuk unta syaratnya berumur 5 tahun dan untuk kerbau dan sapi berumur 2 tahun.[3]
4.   Banyaknya Hewan Kurban
Mengenai banyaknya hewan kurban yang memenuhi syarat bagi orang-orang yang ingin berkurban, para ulama berbeda pendapat:
-          Malik berpendapat bahwa seseorang diperbolehkan menyembelih domba kibasy, sapi, atau badanah (unta), untuk kurban atas nama dirinya, atau atas nama keluarganya yang menurut syara wajib mendapatkan nafkah darinya, begitu pula untuk hadya.
-          Syafi’i, Abu Hanifah, dan jemaah ulama fikih, memperbolehkan seseorang menyembelih badana sebagai kurban untuk tujuh orang. Begitu pula sapi betina, baik sebagai kurban maupun sebagai hadya.[4]
b.      Syarat-syarat Hewan Kurban (Had-ya)
Hewan kurban harus memenuhi syarat diantaranya:
1.      Hendaklah telah cukup besar, jika hewan itu bukan dari jenis benggala. Jika dari jenis ini, maka cukup jadza’ atau yang lebih besar daripadanya. Jadza’ maksudnya ialah yang telah mencapai umur enam bulan dan gemuk badannya. Seekor unta dikatakan cukup besar, bila telah berumur lima tahun; sapi bila telah berumur setahun penuh. Bila hewan-hewan ini telah mencapai umur yang disebutkan bagi masing-masingnya, bolehlah ia dijadikan hewan kurban.
2.      Hendaklah sehat dan tidak bercacat. Maka tidak boleh yang pincang, buta sebelah, berkurap atau yang kurus. Diterima dari Hasan, bahwa menurut pendapat mereka, jika seseorang membeli unta atau hewan kurban lainnya, dan ketika itu ia memenuhi syarat, kemudian menjadi pincang, bermata sebelah atau kurus kering sebelum hari Nahar, maka hendaklah diteruskannya menyembelihnya, karena demikian telah cukup dan memadai.[5]

C.     Tata Cara dan Waktu Penyembelihan Hewan Kurban
a.      Ketentuan Penyembelihan hewan kurban
Ada beberapa ketentuan dalam penyembelihan hewan qurban, diantaranya adalah:
1.         Niat berqurban karena Allah semata
Hal yang terpenting dalam proses ibadah qurban adalah niat. Niat adalah sesuatu yang asasi dalam ibadah qurban dan ibadah-ibadah lainnya. Dengan niat ibadah seseorang diterima, dan dengan niat pula ibadah seseorang ditolak oleh Allah SWT. Bila niat kita berqurban dalam rangka taat kepada Allah dan menjalankan perintahnya, maka insya Allah ibadah qurban kita diterima disisi Nya. Sebaliknya jika niat kita berqurban dalam rangka yang lainnya, misalnya karena ingin dipuji, atau malu kalau tidak melaksanakan ibadah qurban, atau qurban yang dipersembahkan untuk selain Allah, maka qurban-qurban tersebut tidak ada manfaatnya dan tidak diterima disisi Allah.
2.         Ketika menyembelih mengucapkan asma Allah.
"Dari Anas bin Malik, ia berkata: Bahwasanya Nabi saw menyembelih dua ekor kibasnya yang bagus dan bertanduk. Beliau mengucapkan basmallah dan takbir dan meletakkan kakinya di samping lehernya."(HR. Bukhari, Muslim dan lainnya). Berkata Rafi bin Khadij, ya Rasulullah bahwa kami besok akan berhadapan dengan musuh dan kami tidak mempunyai pisau (buat menyembelih). Maka Nabi saw. bersabda, "Apa saja yang bisa mengalirkan darah dan disebut dengan nama Allah padanya maka kamu makanlah (HR. Jama’ah)
3.            Menyembelih dengan pisau yang tajam
Telah berkata Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan supaya pisau itu ditajamkan dan supaya tidak ditampakkan kepada binatang-binatang dan beliau bersabda, "Apabila seorang daripada kamu menyembelih maka hendaklah ia percepat kematiannya" (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
4.         Disembelih tepat dikerongkongan/ leher
Telah berkata Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah mengutus Budail bin Warqa Al-Khuza’i dengan naik unta yang kehijau-hijauan supaya berteriak di jalan-jalan Muna (dengan berkata) : “ketahuilah bahwa sembelihan itu tepatnya di kerongkongan/lehernya”. (H.R. Daruquthni).
5.         Disembelih oleh muslim
Ibadah qurban adalah ibadah yang diperintahkan dan disyariahkan oleh Allah kepada kaum muslimin dan tidak dibebankan kepada selain mereka, karena perintah ini berhubungan dengan masalah keyakinan dan kepercayaan. Karena umat Islam dalam menjalankan perintah ini didasari oleh ketaatan kepada perintah Allah. Dan dasar dari ketaatan ini adalah keyakinan dan kepercayaan kepada sesuatu yang dipercayai dan diyakininya, dalam hal ini adalah Allah SWT. Jadi bagaimana mungkin orang yang tidak meyakini dan mempercayai Allah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah? Begitupun dengan penyembelihan harus dilaksanakan oleh orang Islam karena ibadah qurban adalah ibadahnya kaum muslimin dan semua proses ibadah dari awal sampai akhir harus dilakukan oleh kaum muslimin. Disamping itu, penyembelihan juga terkait dengan penyebutan asma Allah yang disebutkan oleh penyembelih, jika yang melakukan penyembelihan bukan orang Islam yang notabene mereka tidak mempercayai Allah, asma Allah mana yang mereka sebutkan, sedangkan mereka sendiri tidak mempercayai Allah?. Untuk itu, penyembelihan hanya dapat dilakukan oleh kaum muslimin, Karena masalah ini terkait dengan dua hal yang telah disebutkan diatas, yaitu kepercayaan dan penyebutkan asma Allah.
6.         Tunggu ternak tersebut sampai mati sempurna
Jika hewan qurban telah disembelih, maka biarkanlah hewan tersebut sampai mati dan jangan dikuliti atau dipotong anggota tubuhnya sebelum benar-benar mati. Karena jika hal ini dilakukan akan menyiksa hewan tersebut, dan ini adalah hal yang dilarang.
7.         terputus urat leher, yaitu Hulqum (jalan napas), Mari (jalan makanan), Wadajain (dua urat nadi dan syaraf).
Telah berkata Ibnu Abbas dan Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah melarang syarithatusy-syaitan yaitu (sembelihan) yang disembelih hanya putus kulitnya dan tidak putus urat lehernya (H.R. Abu Dawud)
b.      Tata Cara Berkurban
Berikut adalah tata cara dalam penyembelihan hewan qurban:
1.      Memilih tempat yang mudah untuk menyembelih.
2.      Hewan qurban digiring pelan-pelan ke tempat penyembelihan dan sebelumnya dibei air minum
3.      Jika berupa unta, maka yang baik adalah unta dalam keadaan berdiri dan di ikat lutut kakinya yang kiri.
4.      Jika berupa sapi, kerbau atau kambing yang baik adalah ditidurkan miring pada lambung kiri dan kakinya diikat kecuali kaki kanan.
5.      Lehernya dihadapkan ke kiblat
6.      Orang yang menyembelih juga menghadap kiblat.
7.      Kemudian membaca:
الله اكبر الله اكبر الله اكبر لااله الاالله والله اكبر الله اكبرولله الحمد
8.      Membaca
بسم الله الرحمن الرحيم الله اكبر الله اكبر الله اكبر لااله الاالله والله اكبر الله اكبرولله الحمد اللهم صل وسلم على سيد نا محمد اللهم ان هذه منك واليك فتقبل مني
9.      Niat ketika menyembelih
نويتُ الاضحية المسنونة / نويتُ اداء سنة التضحية
10.  Meletakkan parang atau pisau yang tajam pada tenggorokan (bagian leher yang dekat kepala) bagi hewan yang berleher pendek seperti sapi, kambing, kerbau.
11.  Meletakkan parang atau pisauyang tajam pada leher bagian bawah (dekat dada) bagi hewan yang berleher panjang seperti unta.
12.  Menggerakkan parang atau pisau sambil ditekan.

c.       Waktu Penyembelihan Hewan Kurban
Untuk qurban disyaratkan tidak disembelih sesudah terbit matahari pada hari ‘Ied. Tetapi setelah lewat beberapa saat, seukuran shalat ‘Ied. Sesudah itu boleh menyembelihnya di hari mana saja yang termasuk hari tasyrik, baik malam atau siang. Dan setelah hari tasyrik tersebut tidak ada lagi waktu penyembelihannya.
Dan diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dari Rasulullah saw., bersabda:
مَن ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَاِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعدالصّلاَةِ وَالْخُطْبَتَيْنِ فَقَدْ اَتَمَّ نُسُكَهُ وَاَصَابَ سُنَّةَالْمُسْلِمِيْنَ
“Siapa yang menyembelih sebelum shalat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan siapa yang menyembelih setelah shalat dan dua khutbah, sungguh ibadahnya ia telah sempurnakan dan ia mendapat sunnah kaum Muslimin”.[6]
Waktu menyembelih qurban mulai dari matahari setinggi tiang pada hari raya idul adha, sampai terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijah.

D.    Pembagian Daging Kurban Pada Masa Sekarang
Disunnahkan bagi orang yang berqurban memakan daging qurban dan menghadiahkannya kepada para kerabat, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir.  Rasulullah bersabda:
فَكُلُوْامِنْهَاوَاطْعِمُوْااْلبَائِسَ الْفَقِيْرَ
“Maka makanlah daripadanya beri makanlah orang-orang yang sangat fakir ”.
Dalam kaitan ini para ulama mengatakan: Yang afdhal bahwa ia memakan sepertiga, bersedekah sepertiga, dan menyimpan sepertiga. Daging qurban boleh diangkut sekalipun ke Negara lain. Tetapi tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya. Dan tidak boleh memberi tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan kerja. Orang yang berqurban bersedekah dan boleh mengambil daripadanya untuk dimanfaatkan. Menurut Abu Hanifah, bahwa boleh menjual kulitnya dan bayarannya disedekahkan atau membelikannya barang yang bermanfaat untuk rumah.[7]
Dalam pembagian daging kurban masa sekarang tata caranya tidak jauh berbeda. Hanya saja bentuk pendistribusiannya yang berbeda, pelaksanaan kurban cara baru, yaitu melalui system kemasan (kornet). Lebih praktis dan tahan lama.
KH Ma’ruf Amin, salah seorang pengurus PBNU, yang juga ketua Komisi Fatwa MUI Pusat membolehkan pengiriman daging kurban siap saji (baca : dalam bentuk kornet, dll), asalkan penyembelihan dilakukan pada masa hari tasyrik (tanggal 10 – 13 Dzulhijah).
Kornet dapat di-analog-kan (dikategorikan) dalam iddikhar, menyimpan dalam waktu lebih dari tiga hari, karena kebutuhan. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam pendistribusian hewan kurban dalam bentuk kornet adalah sbb :
1.      Waktu penyembelihan harus tetap pada hari Tasyriq (tanggal 10-13 Zulhijjah), yaitu setelah Sholat Idul Adha s.d sebelum Maghrib tgl. 13 Zulhijjah.
Hadits Rasulullah SAW,”Setiap sudut kota Makkah adalah tempat penyembelihan dan setiap hari-hari tayriq adalah [waktu] penyembelihan.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Thabrani, dan Daruquthni).
Pendapat Imam Syafi’i mengenai masalah ini ”Jika matahari telah terbenam pada akhir hari-hari tasyriq [tanggal 13 Zulhijjah], lalu seseorang menyembelih kurbannya, maka kurbannya tidak sah.”
2.      Adanya hajat sebagai dasar penyimpanan daging kurban lebih dari tiga hari. misalnya masih adanya kaum muslimin yang miskin, menderita kelaparan, jarang makan daging, tertimpa bencana, dan sebagainya.[8]



IV.    PENUTUP
A.    Kesimpulan
·         Qurban, artinya pendekatan diri, sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha. Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu.
·         Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyembelih hewan kurban:
Malik dan Syafi’I, berpendapat bahwa hukum menyembelih hewan kurban adalah sunah muakad. Akan tetapi, Malik memberikan keringanan kepada orang yang mengerjakan haji sewaktu di Mina untuk tidak menyembelih hewan kurban. Syafi’I tidak membedakan antara orang yang sedang beribadah haji dengan yang lain. Abu Hanifah berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban diwajibkan kepada orang-orang kaya yang menetap di kota-kota, dan tidak diwajibkan kepada orang-orang yang sedang safar (bepergian jauh). Hukum qurban menjadi wajib dikarenakan seseorang bernadzar untuk berkurban.
·         Hewan yang disyaratkan dalam pelaksanaan ibadah qurban tidak semua jenis hewan, tapi hanya hewan ternak yang terdiri dari kambing dan yang sejenis, sapi dan yang sejenis, dan unta. Binatang yang sah untuk berqurban adalah hewan yang tidak cacat seperti pincang, sakit, syara(robek telinganya), Kharqa(hewan yang telah dilubangi telinganya), Mudarabarah(hewan belakang kedua sisi telinganya telah dipotong, Batra adalah hewan yang ekornya telah dipotong. Putus telinganya, putus ekornya dan mempunyai umur sebagai berikut :
1.      Kambing atau Domba yang telah berumur satu tahun lebih
2.      Kambing biasa yang telah berumur 2 tahun lebih
3.      Unta yang telah berumur 5 tahun lebih
4.      Sapi, Kerbau, yang telah berumur dua tahun lebih
Seekor kambing hanya untuk kewajiban qurban satu orang diqiyaskan dengan denda meninggalkan wajib haji tetapi seekor unta, kerbau, dan sapi untuk qurban tujuh orang.
·         Ketentuan penyembelihan hewan kurban
a)      Niat berqurban karena Allah semata
b)      Ketika menyembelih mengucapkan asma Allah.
c)      Menyembelih dengan pisau yang tajam
d)     Disembelih tepat dikerongkongan/ leher
e)      Disembelih oleh muslim
f)       Tunggu ternak tersebut sampai mati sempurna
g)      terputus urat leher, yaitu Hulqum (jalan napas), Mari’ (jalan makanan), Wadajain (dua urat nadi dan syaraf).
·         Waktu menyembelih qurban adalah mulai dari matahari setinggi atau setelah sholat idul adha, sampai terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijah.
·         Disunnahkan bagi orang yang berqurban memakan daging qurban dan menghadiahkannya kepada para kerabat, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, Dalam kaitannya dengan hal ini para ulama mengatakan bahwa yang afdhal ia memakan sepertiga, bersedekah sepertiga, dan menyimpan sepertiga. Daging qurban boleh diangkut sekalipun ke Negara lain. Tetapi tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya. Dan tidak boleh memberi tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan kerja.

B.     Saran
Demikian makalah yang penulis susun. Adapun kesalahan dan kekurangan yang ada pada makalah ini, penulis mohon maaf. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk upaya penyempurnaan makalah ini dan semoga dalam pembuatan makalah- makalah selanjutnya bisa lebih baik.










DAFTAR PUSTAKA

Asyhadi, Muhammad Sokhi. 2013. Fikih Ibadah. (versi madzhab syafi’i). Grobogan: Pondok Pesantren Fadlul Wahid Ngangkruk.
Rasjid, H.Sulaiman. 1983 Fiqh Islam. Jakarta : Attahiriyah.
Rusydi, Ibnu. 1996. Kitab Terjemah Bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid. Bandung: Trigenda Karya.
Sayyid, Sabiq, 1978, Fikih Sunnah 5, Bandung: PT Alma’arif.
Sayyid, Sabiq, 1995, Fikih Sunnah 13, Bandung: PT Alma’arif.


[2] Ibnu Rusdi, 1996, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Bandung: Trigenda Karya, hlm.777
[3] Muhammad Sokhi Asyhadi. 2013. Fikih Ibadah. (versi madzhab syafi’i). Grobogan: Pondok Pesantren Fadlul Wahid Ngangkruk. Hlm. 199.

[4] Ibnu Rusdi, 1996, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Bandung: Trigenda Karya, hlm.779-788
[5] Sabiq, Sayyid, 1995, Fikih Sunnah 5, Bandung: PT Alma’arif, hlm. 256
[6] Sabiq, Sayyid, 1995, Fikih Sunnah 13, Bandung: PT Alma’arif, hlm. 146
[7] Sabiq, Sayyid, 1995, Fikih Sunnah 13, Bandung: PT Alma’arif, hlm. 148

Tidak ada komentar:

Posting Komentar