IBADAH QURBAN
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas: FIQIH
Dosen Pengampu: Kurnia Muhajaroh, M.S.I
Di susun oleh:
Ilyana Rohmatin Nuzul (113711023)
Imron Rosadi (113711024)
Intan Rizqiaa Fajariyah (113711025)
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
IBADAH QURBAN
I.
PENDAHULUAN
Syariat Qurban merupakan warisan ibadah yang
paling tua. Karena berqurban mulai diperintahkan saat Nabi Adam AS tidak
menemukan cara yang adil dalam menikahkan anak-anaknya yang kembar. Meskipun
sudah diputuskan menikah secara silang. Sampai akhirnya Allah swt mewahyukan
agar kedua anak Adam, Habil dan Qabil melaksanakan qurban untuk membuktikan
siapa yang diterima. Habil berqurban dengan ternaknya unta dan Qabil
berqurban dengan tanamannya gandum.
Habil dengan ikhlas mempersembahkan udhiyahnya
dan karenanya diterima. Sedangkan Qabil karena tidak tulus dalam menjalankan
perintah berudhiyah, tidak diterima, sehingga dengan nekad juga ia membunuh
saudaranya, inilah peristiwa pembunuhan pertama dalam sejarah umat manusia.
Sebenarnya istilah yang baku bukan berqurban,
tetapi menyembelih hewan udhiyah. Sebab kata “Qurban” artinya mendekatkan diri
kepada Allah. Padahal yang disunnahkan adalah melakukan ibadah ritual melakukan
ibadah ritual yaitu menghilangkan nyawa hewan udhiyah, baik dengan cara dzabh
(menyembelih) atau nahr (menusuk leher unta dengan tombak), sebagai bentuk
ritual peribadatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Peristiwa berudhiyah paling fenomenal Ibrahim AS. Ibrahim yang
menanti seorang putra sejak lama itu diperintahkan Allah swt untuk menyembelih
putra semata wayangnya, Ismail AS. Ujian berat
menimpanya, antara melaksanakan perintah Allah SWT atau membiarkan putranya hidup
dengan tidak melaksanakan perintah Allah SWT, putranya nanti akan melanjutkan
perjuangan bapaknya. Alasan ini kelihatan begitu rasional. Namun, Ibrahim sudah
teruji ketaatannya kepada Allah swt. sehingga tiada ragu ia akan melaksanakan
perintah Allah swt.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimanakah Dasar Hukum dan Ketentuan Berkurban?
B. Bagaimanakah Ketentuan-Ketentuan Binatang Kurban ?
C. Bagaimanakah Tata Cara dan Waktu Penyembelihan Hewan Kurban?
D.
Bagaimanakah Pembagian Daging Kurban Pada Masa
Sekarang?
III. PEMBAHASAN
A.
Dasar Hukum dan
Ketentuan Berkurban
a.
Dasar Hukum berkurban
Kata
qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri,
sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana
pendekatan diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam
sebagai udhiyah. Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian,
yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha dan seterusnya, dan kambing yang
disembelih di hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara
istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat
mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat
tertentu.
Udhiyah atau dalam bahasa
kita disebut qurban dalam istilah fuqaha (para ahli fiqih) adalah: “Binatang
peliharaan yang disembelih pada hari-hari penyembelihan disebabkan datangnya
hari raya Idul Adha, untuk mendekatkan diri kepada Allah”. Sedangkan kata
al-Udhiyah itu sendiri diambil dari kata dhuha, yang artinya waktu dhuha.
Dikatakan demikian lantaran waktu shalat Idul Adha dan menyembelihnya
Rasulullah SAW adalah pada waktu dhuha. Demikianlah Rasulullah SAW menyembelih
binatang qurbannya pada waktu dhuha setelah shalat Idul Adha. Ini bukan berarti
selain waktu dhuha dilarang menyembelih, bahkan seandainya menyembelih qurban
dilakukan pada sore atau malam hari, selama dalam waktu yang dibolehkan maka
penyembelihan itu tetap sah, karena waktu dhuha itu adalah waktu yang disunnahkan.[1]
Qurban adalah binatang yang disembelih guna ibadah kepada Allah pada hari
raya idul adha dan tiga hari berikutnya (hari tasyrik) 11 sampai 13 Dzulhijah. Hukum berqurban itu menurut beberapa ulama wajib dan sebagian adalah sunnah
muakkad. Firman Allah Al-Kautsar ayat 1-2
!$¯RÎ) š»oYø‹sÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah.”
Dari Abu Hurairah, telah berkata Rasulullah saw
من كان له سعة ولم يضح فلا يقربن مصلانا
“Barang siapa yang mempunyai kemampuan lebih
namun ia tidak berkurban maka janganlah ia menghampiri tempat sembahyang kami”
Riwayat Ahmad dari Ibnu Majah.
šcô‰ç7ø9$#ur $yg»oYù=yèy_ /ä3s9 `ÏiB Ύȵ¯»yèx© «!$# ö/ä3s9 $pkŽÏù ׎öyz ( (#rãä.øŒ$$sù zNó™$# «!$# $pköŽn=tæ ¤$!#uq|¹ ( #sŒÎ*sù ôMt7y_ur $pkæ5qãZã_ (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur yìÏR$s)ø9$# §ŽtI÷èßJø9$#ur 4 y7Ï9ºx‹x. $yg»tRö¤‚y™ öNä3s9 öNä3ª=yès9 tbrãä3ô±s? ÇÌÏÈ
Artinya:
Dan
telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika
kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila
telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang
rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu,
Mudah-mudahan kamu bersyukur. (QS. Al Hajj : 36)
Para ulama
berbeda pendapat mengenai hukum menyembelih hewan kurban:
1. Malik dan Syafi’I, berpendapat bahwa hukum menyembelih hewan kurban
adalah sunah muakad. Akan tetapi, Malik memberikan keringanan kepada orang yang
mengerjakan haji sewaktu di Mina untuk tidak menyembelih hewan kurban. Syafi’I
tidak membedakan antara orang yang sedang beribadah haji dengan yang lain.
2. Abu Hanifah berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban diwajibkan kepada
orang-orang kaya yang menetap di kota-kota, dan tidak diwajibkan kepada
orang-orang yang sedang safar (bepergian jauh).
3. Pendapat Abu Hanifah di atas ditentang oleh dua orang pengikutnya,
yaitu Abu Yusuf dan Muhammad. Mereka mengatakan bahwa menyembelih hewan kurban
itu tidak wajib.[2]
Sebagaimana dikatakan
di atas, pada dasarnya hukum qurban adalah sunat bagi setiap Muslim yang telah
memenuhi syarat. Akan tetapi, hukum qurban menjadi wajib dikarenakan beberapa alasan:
1)
Bagi seseorang yang bernadzar.
Sebagaimana
sabda Rosulullah SAW :
مَن نَذَرَانْ يُطِيـعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ
“Siapa
yang bernadzar untuk pekerjaan taat kepada Allah, Hendaklah ia melakukannya”
Bahkan sampai orang
yang bernadzar itu meninggal dunia, sesungguhnya boleh diwakilkan oleh orang
lain yang ia berikan mandate untuk itu, ketika ia masih hidup
2)
Kedua karena ucapan
Apabila seseorang berkata “Ini milik
Allah atau ini Binatang qurban” atau yang semakna dengan itu, maka hukum qurban
baginya menjadi wajib. Menurut imam Malik, jika waktu membeli diniatkan untuk
diqurbankan maka menjadi wajib.
b.
Ketentuan
berqurban
Syarat-syarat sah qurban yaitu:
1. Terkait dengan hewan qurban
a)
Termasuk dari an'am (unta, sapi, dan kambing) baik jantan
atau betina
b)
Cukup umur
c)
Bebas dari cacat yang jelas (buta sebelah, sakit, kurus
kering, pincang, dan cacat yang setara atau lebih parah)
d)
Milik pequrban
e)
Tidak terikat dengan hak orang lain, misalnya menjadi agunan
2.
Terkait dengan pequrban
a)
Niat
b)
Khusus untuk qurban bersama misalnya satu sapi atau unta
untuk tujuhorang harus satu niat untuk
qurban. Tidak sah bila salah seorang di antaranya berniat untuk dapat daging
semata
B.
Ketentuan-Ketentuan Binatang Kurban
a.
Kriteri Hewan Kurban
1.
Memilih
Jenis Hewan Kurban
Para ulama sepakat memperbolehkan qurban dengan seluruh
binatang ternak. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai hewan ternak yang
paling utama.Maliki berpendapat bahwa hewan yang paling utama untuk berqurban
adalah kibasy (jenis domba), kemudian sapi jantan, dan yang terakhir
adalah unta. Menurutnya, ini merupakan urutan kebalikan
untuk hewan hadya yang sebagaimana yang sudah dibicarakan pada bab Haji. Akan tetapi, diriwyatakan pula darinya dengan urutan yaitu unta, lalu sapi jantan dan kibasy.
Syafi’i
berpendapat bahwa kebalikan dari pendapat yang dikemukakan Malik mengenai
urutan jenis hewan kurban, yaitu unta, sapi jantan, kemudian kibasy. Pendapat
ini disepakati pula oleh Asyhab dan Ibnu Syu’ban.
2.
Memilih
Sifat Hewan Kurban
Para
ulama sepakat bahwa dalam berkurban disunahkan menghindarkan hewan yang
pincang, sakit, dan kurus karena merujuk kepada hadis Al Barra bin ‘Azib,
“Sesunguhnya Rasulullah saw. pernah ditanya, ‘Hewan-hewan kurban kurban apa
saja yang tidak boleh dipilih?’ Lalu beliau SAW memberikan isyarat dengan tangannya,
dengan bersabda, ‘Empat.” Waktu itu Al Barra member isyarat dengan tangannya, dan
mengatakan, “Tanganku lebih pendek daripada tangan Rasulullah saw., yang empat
itu adalah hewan pincang, hewan yang rusak matanya, hewan yang sakit, dan hewan
yang kurus.”
Mereka
juga sepakat bahwa jika keempat sifat itu hanya sedikit, maka boleh
dikurbankan. Mereka berbeda pendapat dalam dua hal:
a)
Kecacatan
yang lebih parah dari yang dinaskan, seperti buta dan kakinya patah.
b)
Kecacatan
yang sama dengan yang telah dinaskan, dalam hal ketidakutuhannya, yakni
cacat-cacat yang terdpat pada telinga, mata, ekor, gigi geraham, dan pada
anggota-anggota tubuh lainnya.
Mengenai
hal pertama, jumhur ulama’ telah sepakat bahwa kecacatan yang lebih parah daripada
kecacatan yang telah dinaskan dalam hadis di atas, tidak memenuhi syarat untuk
untuk kurban
3.
Umur
Hewan Kurban yang Disyaratkan
Para
ulama sepakat bahwa kambing yang berumur satu tahun lebih tidak dapat dijadikan
kurban, tetapi harus kambing yang berumur dua tahun keatas. Hal itu karena ada
sabda Nabi saw. kepada Abu Burdah tatkala Beliau menyuruhnya agar mengulangi
kurbannya, “Kambing yang berumur dua tahun ke atas memenuhi syarat buat kamu
untuk berkurban, sedangkan kambing yang berumur satu tahun lebih tidak dapat
memenuhi syarat berkurban.”
Mereka
berbeda pendapat mengenai dha’n (domba) yang berumur satu tahun lebih:
a.
Jumhur
ulama’ sepakat memperbolehkan dha’n yang berumur satu tahun lebihuntuk kurban
b.
Segolongan
ulama’ yang lain berpendapat bahwa yang diperbolehkan untuk kurban haruslah
dha’n yang berumur dua tahun lebih
perbedaan
pendapat diantara mereka timbul karena bertentangannya hadis yang mknanya umum
dengan hadis yag maknanya khusus.
adapun
ulama’ yang membiarkan hadis khusus apa adanya disamping hadis umum, sesuai
dengan pendapat yang masyhur dikalangan jumhur ushuliyah, maka dia
mengecualikan jadza’ah dha’n (domba yang berusia satu tahun lebih) yang
disebutkan dalam hadis khusus tersebut. Ini adalah pendapat yang paling utama.
Sedangkan
untuk unta syaratnya berumur 5 tahun dan untuk kerbau dan sapi berumur 2 tahun.[3]
4.
Banyaknya
Hewan Kurban
Mengenai
banyaknya hewan kurban yang memenuhi syarat bagi orang-orang yang ingin
berkurban, para ulama berbeda pendapat:
-
Malik
berpendapat bahwa seseorang diperbolehkan menyembelih domba kibasy, sapi, atau
badanah (unta), untuk kurban atas nama dirinya, atau atas nama keluarganya yang
menurut syara wajib mendapatkan nafkah darinya, begitu pula untuk hadya.
-
Syafi’i,
Abu Hanifah, dan jemaah ulama fikih, memperbolehkan seseorang menyembelih
badana sebagai kurban untuk tujuh orang. Begitu pula sapi betina, baik sebagai
kurban maupun sebagai hadya.[4]
b.
Syarat-syarat Hewan Kurban (Had-ya)
Hewan kurban
harus memenuhi syarat diantaranya:
1.
Hendaklah
telah cukup besar, jika hewan itu bukan dari jenis benggala. Jika dari jenis
ini, maka cukup jadza’ atau yang lebih besar daripadanya. Jadza’ maksudnya
ialah yang telah mencapai umur enam bulan dan gemuk badannya. Seekor unta dikatakan
cukup besar, bila telah berumur lima tahun; sapi bila telah berumur setahun
penuh. Bila hewan-hewan ini telah mencapai umur yang disebutkan bagi
masing-masingnya, bolehlah ia dijadikan hewan kurban.
2.
Hendaklah
sehat dan tidak bercacat. Maka tidak boleh yang pincang, buta sebelah, berkurap
atau yang kurus. Diterima dari Hasan, bahwa menurut pendapat mereka, jika
seseorang membeli unta atau hewan kurban lainnya, dan ketika itu ia memenuhi
syarat, kemudian menjadi pincang, bermata sebelah atau kurus kering sebelum
hari Nahar, maka hendaklah diteruskannya menyembelihnya, karena demikian telah
cukup dan memadai.[5]
C. Tata Cara dan Waktu Penyembelihan Hewan Kurban
a.
Ketentuan Penyembelihan hewan kurban
Ada beberapa
ketentuan dalam penyembelihan hewan qurban, diantaranya adalah:
1.
Niat berqurban karena Allah semata
Hal yang terpenting
dalam proses ibadah qurban adalah niat. Niat adalah sesuatu yang asasi dalam
ibadah qurban dan ibadah-ibadah lainnya. Dengan niat ibadah seseorang diterima,
dan dengan niat pula ibadah seseorang ditolak oleh Allah SWT. Bila niat kita
berqurban dalam rangka taat kepada Allah dan menjalankan perintahnya, maka
insya Allah ibadah qurban kita diterima disisi Nya. Sebaliknya jika niat kita
berqurban dalam rangka yang lainnya, misalnya karena ingin dipuji, atau malu
kalau tidak melaksanakan ibadah qurban, atau qurban yang dipersembahkan untuk
selain Allah, maka qurban-qurban tersebut tidak ada manfaatnya dan tidak
diterima disisi Allah.
2.
Ketika menyembelih mengucapkan asma Allah.
"Dari Anas bin
Malik, ia berkata: Bahwasanya Nabi saw menyembelih dua ekor kibasnya yang bagus
dan bertanduk. Beliau mengucapkan basmallah dan takbir dan meletakkan kakinya
di samping lehernya."(HR.
Bukhari, Muslim dan lainnya). Berkata
Rafi bin Khadij, ya Rasulullah bahwa kami besok akan berhadapan dengan musuh
dan kami tidak mempunyai pisau (buat menyembelih). Maka Nabi saw. bersabda,
"Apa saja yang bisa mengalirkan darah dan disebut dengan nama Allah
padanya maka kamu makanlah (HR. Jama’ah)
3.
Menyembelih dengan pisau yang tajam
Telah berkata Ibnu
Umar, bahwa Rasulullah saw. memerintahkan supaya pisau itu ditajamkan dan
supaya tidak ditampakkan kepada binatang-binatang dan beliau bersabda, "Apabila
seorang daripada kamu menyembelih maka hendaklah ia percepat kematiannya" (HR.
Ahmad dan Ibnu Majah).
4.
Disembelih tepat dikerongkongan/ leher
Telah berkata Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw pernah mengutus Budail bin Warqa Al-Khuza’i
dengan naik unta yang kehijau-hijauan supaya berteriak di jalan-jalan Muna
(dengan berkata) : “ketahuilah bahwa sembelihan itu tepatnya di
kerongkongan/lehernya”. (H.R. Daruquthni).
5.
Disembelih oleh muslim
Ibadah qurban adalah
ibadah yang diperintahkan dan disyariahkan oleh Allah kepada kaum muslimin dan
tidak dibebankan kepada selain mereka, karena perintah ini berhubungan dengan
masalah keyakinan dan kepercayaan. Karena umat Islam dalam menjalankan perintah
ini didasari oleh ketaatan kepada perintah Allah. Dan dasar dari ketaatan ini
adalah keyakinan dan kepercayaan kepada sesuatu yang dipercayai dan
diyakininya, dalam hal ini adalah Allah SWT. Jadi bagaimana mungkin orang yang
tidak meyakini dan mempercayai Allah melaksanakan apa yang diperintahkan Allah?
Begitupun dengan penyembelihan harus dilaksanakan oleh orang Islam karena
ibadah qurban adalah ibadahnya kaum muslimin dan semua proses ibadah dari awal
sampai akhir harus dilakukan oleh kaum muslimin. Disamping itu, penyembelihan
juga terkait dengan penyebutan asma Allah yang disebutkan oleh penyembelih,
jika yang melakukan penyembelihan bukan orang Islam yang notabene mereka tidak
mempercayai Allah, asma Allah mana yang mereka sebutkan, sedangkan mereka
sendiri tidak mempercayai Allah?. Untuk itu, penyembelihan hanya dapat
dilakukan oleh kaum muslimin, Karena masalah ini terkait dengan dua hal yang
telah disebutkan diatas, yaitu kepercayaan dan penyebutkan asma Allah.
6.
Tunggu ternak tersebut sampai mati sempurna
Jika hewan qurban telah
disembelih, maka biarkanlah hewan tersebut sampai mati dan jangan dikuliti atau
dipotong anggota tubuhnya sebelum benar-benar mati. Karena jika hal ini
dilakukan akan menyiksa hewan tersebut, dan ini adalah hal yang dilarang.
7.
terputus urat leher, yaitu Hulqum (jalan napas),
Mari’
(jalan makanan), Wadajain (dua urat nadi dan syaraf).
Telah berkata Ibnu
Abbas dan Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah melarang
syarithatusy-syaitan yaitu (sembelihan) yang disembelih hanya putus kulitnya
dan tidak putus urat lehernya (H.R. Abu Dawud)
b.
Tata Cara Berkurban
Berikut adalah tata cara dalam penyembelihan hewan qurban:
1. Memilih tempat yang mudah untuk
menyembelih.
2. Hewan qurban digiring pelan-pelan ke
tempat penyembelihan dan sebelumnya dibei air minum
3. Jika berupa unta, maka yang baik adalah
unta dalam keadaan berdiri dan di ikat lutut kakinya yang kiri.
4. Jika berupa sapi, kerbau atau kambing
yang baik adalah ditidurkan miring pada lambung kiri dan kakinya diikat kecuali
kaki kanan.
5. Lehernya dihadapkan ke kiblat
6. Orang yang menyembelih juga menghadap
kiblat.
7. Kemudian membaca:
الله
اكبر الله اكبر الله اكبر لااله الاالله والله اكبر الله اكبرولله الحمد
8.
Membaca
بسم
الله الرحمن الرحيم الله اكبر الله اكبر الله اكبر لااله الاالله والله اكبر الله
اكبرولله الحمد اللهم صل وسلم على سيد نا محمد اللهم ان هذه منك واليك فتقبل مني
9.
Niat ketika menyembelih
نويتُ
الاضحية المسنونة / نويتُ اداء سنة التضحية
10. Meletakkan parang atau pisau yang tajam
pada tenggorokan (bagian leher yang dekat kepala) bagi hewan yang berleher
pendek seperti sapi, kambing, kerbau.
11. Meletakkan parang atau pisauyang tajam
pada leher bagian bawah (dekat dada) bagi hewan yang berleher panjang seperti
unta.
12. Menggerakkan parang atau pisau sambil
ditekan.
c.
Waktu Penyembelihan Hewan Kurban
Untuk
qurban disyaratkan tidak disembelih sesudah terbit matahari pada hari ‘Ied.
Tetapi setelah lewat beberapa saat, seukuran shalat ‘Ied. Sesudah itu boleh
menyembelihnya di hari mana saja yang termasuk hari tasyrik, baik malam atau
siang. Dan setelah hari tasyrik tersebut tidak ada lagi waktu penyembelihannya.
Dan
diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, dari Rasulullah saw., bersabda:
مَن ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَاِنَّمَا يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ
ذَبَحَ بَعدالصّلاَةِ وَالْخُطْبَتَيْنِ فَقَدْ اَتَمَّ نُسُكَهُ وَاَصَابَ
سُنَّةَالْمُسْلِمِيْنَ
“Siapa yang menyembelih
sebelum shalat, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya. Dan siapa yang
menyembelih setelah shalat dan dua khutbah, sungguh ibadahnya ia telah
sempurnakan dan ia mendapat sunnah kaum Muslimin”.[6]
Waktu menyembelih qurban mulai dari matahari setinggi tiang pada hari raya idul adha, sampai terbenam matahari tanggal 13
Dzulhijah.
D. Pembagian Daging Kurban Pada Masa
Sekarang
Disunnahkan
bagi orang yang berqurban memakan daging qurban dan menghadiahkannya kepada
para kerabat, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir. Rasulullah bersabda:
فَكُلُوْامِنْهَاوَاطْعِمُوْااْلبَائِسَ الْفَقِيْرَ
“Maka makanlah daripadanya beri makanlah orang-orang yang sangat
fakir ”.
Dalam kaitan ini para ulama
mengatakan: Yang afdhal bahwa ia memakan sepertiga, bersedekah sepertiga, dan
menyimpan sepertiga. Daging qurban boleh diangkut sekalipun ke Negara lain.
Tetapi tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya. Dan tidak boleh memberi tukang
potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak menerimanya sebagai imbalan
kerja. Orang yang berqurban bersedekah dan boleh mengambil daripadanya untuk
dimanfaatkan. Menurut Abu Hanifah, bahwa boleh menjual kulitnya dan bayarannya
disedekahkan atau membelikannya barang yang bermanfaat untuk rumah.[7]
Dalam pembagian daging kurban masa
sekarang tata caranya tidak jauh berbeda. Hanya saja bentuk pendistribusiannya
yang berbeda,
pelaksanaan kurban cara baru, yaitu melalui system kemasan (kornet). Lebih
praktis dan tahan lama.
KH Ma’ruf Amin, salah seorang pengurus PBNU, yang juga
ketua Komisi Fatwa MUI Pusat membolehkan pengiriman daging kurban siap saji
(baca : dalam bentuk kornet, dll), asalkan penyembelihan dilakukan pada masa
hari tasyrik (tanggal 10 – 13 Dzulhijah).
Kornet dapat
di-analog-kan (dikategorikan) dalam iddikhar, menyimpan dalam waktu
lebih dari tiga hari, karena kebutuhan. Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam
pendistribusian hewan kurban dalam bentuk kornet adalah sbb :
1.
Waktu penyembelihan harus tetap pada hari Tasyriq
(tanggal 10-13 Zulhijjah), yaitu setelah Sholat Idul Adha s.d sebelum Maghrib
tgl. 13 Zulhijjah.
Hadits Rasulullah SAW,”Setiap sudut kota Makkah
adalah tempat penyembelihan dan setiap hari-hari tayriq adalah [waktu]
penyembelihan.” (HR Ahmad, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Thabrani, dan
Daruquthni).
Pendapat Imam Syafi’i mengenai masalah ini ”Jika
matahari telah terbenam pada akhir hari-hari tasyriq [tanggal 13 Zulhijjah],
lalu seseorang menyembelih kurbannya, maka kurbannya tidak sah.”
2.
Adanya hajat sebagai dasar penyimpanan daging kurban
lebih dari tiga hari. misalnya masih adanya kaum muslimin yang miskin,
menderita kelaparan, jarang makan daging, tertimpa bencana, dan sebagainya.[8]
IV.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Qurban, artinya pendekatan diri, sedangkan maksudnya
adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah.
Udhiyah secara bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih
waktu Dhuha. Adapun makna secara istilah, yaitu binatang ternak
yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat mendekatkan diri (taqarruban)
kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu.
·
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyembelih hewan kurban:
Malik dan Syafi’I, berpendapat bahwa hukum menyembelih hewan kurban
adalah sunah muakad. Akan tetapi, Malik memberikan keringanan kepada orang yang
mengerjakan haji sewaktu di Mina untuk tidak menyembelih hewan kurban. Syafi’I
tidak membedakan antara orang yang sedang beribadah haji dengan yang lain. Abu Hanifah berpendapat bahwa menyembelih
hewan kurban diwajibkan kepada orang-orang kaya yang menetap di kota-kota, dan
tidak diwajibkan kepada orang-orang yang sedang safar (bepergian jauh). Hukum qurban menjadi wajib dikarenakan seseorang bernadzar untuk
berkurban.
·
Hewan yang disyaratkan dalam pelaksanaan
ibadah qurban tidak semua jenis hewan, tapi hanya hewan ternak yang terdiri
dari kambing dan yang sejenis, sapi dan yang sejenis, dan unta. Binatang yang sah untuk berqurban adalah hewan
yang tidak cacat seperti pincang, sakit, syara(robek telinganya), Kharqa(hewan
yang telah dilubangi telinganya), Mudarabarah(hewan belakang kedua sisi
telinganya telah dipotong, Batra adalah hewan yang ekornya telah dipotong.
Putus telinganya, putus ekornya dan mempunyai umur sebagai berikut :
1. Kambing atau Domba yang telah berumur satu tahun lebih
2. Kambing biasa yang telah berumur 2 tahun lebih
3. Unta yang telah berumur 5 tahun lebih
4.
Sapi, Kerbau, yang telah berumur dua tahun
lebih
Seekor kambing hanya untuk kewajiban qurban
satu orang diqiyaskan dengan denda meninggalkan wajib haji tetapi seekor unta,
kerbau, dan sapi untuk qurban tujuh orang.
·
Ketentuan penyembelihan hewan
kurban
a) Niat berqurban karena Allah semata
b) Ketika menyembelih mengucapkan asma
Allah.
c) Menyembelih dengan pisau yang tajam
d) Disembelih tepat dikerongkongan/
leher
e) Disembelih oleh muslim
f) Tunggu ternak tersebut sampai mati
sempurna
g) terputus urat leher, yaitu Hulqum
(jalan napas), Mari’ (jalan makanan), Wadajain (dua urat nadi dan syaraf).
·
Waktu menyembelih qurban adalah mulai dari matahari setinggi atau
setelah sholat idul adha, sampai terbenam matahari tanggal 13 Dzulhijah.
·
Disunnahkan
bagi orang yang berqurban memakan daging qurban dan menghadiahkannya kepada
para kerabat, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, Dalam kaitannya dengan
hal ini para ulama mengatakan bahwa yang afdhal ia memakan sepertiga,
bersedekah sepertiga, dan menyimpan sepertiga. Daging qurban boleh diangkut
sekalipun ke Negara lain. Tetapi tidak boleh dijual, begitu juga kulitnya. Dan
tidak boleh memberi tukang potong daging sebagai upah. Tukang potong berhak
menerimanya sebagai imbalan kerja.
B.
Saran
Demikian makalah yang penulis susun. Adapun kesalahan dan kekurangan yang
ada pada makalah ini, penulis mohon maaf. Karena itu, kritik dan saran dari
para pembaca sangat penulis harapkan untuk upaya penyempurnaan makalah ini dan semoga dalam pembuatan makalah- makalah selanjutnya bisa lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Asyhadi, Muhammad Sokhi. 2013. Fikih Ibadah.
(versi madzhab syafi’i). Grobogan: Pondok Pesantren Fadlul Wahid Ngangkruk.
Rasjid, H.Sulaiman. 1983 Fiqh Islam. Jakarta : Attahiriyah.
Rusydi, Ibnu. 1996.
Kitab Terjemah Bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtashid. Bandung:
Trigenda Karya.
Sayyid, Sabiq, 1978, Fikih
Sunnah 5, Bandung: PT Alma’arif.
Sayyid, Sabiq, 1995, Fikih
Sunnah 13, Bandung: PT Alma’arif.
http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2012/05/makalah-fiqih-udhiyah-qurban.html diakses pada Tanggal 24 april 2013 pukul 11.17 WIB
http://edukasi.kompasiana.com/2009/11/25/sah-kah-pembagian-daging-kurban-dibuat-kornet-29555.html
dikutip pada tanggal 30 April 2013 pukul 12.23 WIB
[1] http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2012/05/makalah-fiqih-udhiyah-qurban.html diakses 24 april 2013 pukul 11.17 WIB
[2]
Ibnu Rusdi, 1996, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Bandung: Trigenda
Karya, hlm.777
[3] Muhammad Sokhi Asyhadi.
2013. Fikih Ibadah. (versi madzhab syafi’i). Grobogan: Pondok Pesantren Fadlul
Wahid Ngangkruk. Hlm. 199.
[4]
Ibnu Rusdi, 1996, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Bandung: Trigenda
Karya, hlm.779-788
[5]
Sabiq, Sayyid, 1995, Fikih Sunnah 5, Bandung: PT Alma’arif, hlm. 256
[6]
Sabiq, Sayyid, 1995, Fikih Sunnah 13, Bandung: PT Alma’arif, hlm. 146
[7]
Sabiq, Sayyid, 1995, Fikih Sunnah 13, Bandung: PT Alma’arif, hlm. 148
[8] http://edukasi.kompasiana.com/2009/11/25/sah-kah-pembagian-daging-kurban-dibuat-kornet-29555.html dikutip pada tanggal 30 April 2013 pukul 12.23 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar