PERKEMBANGAN
ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah
Peradaban Islam
Dosen
Pengampu: Drs.
Muslih M Z, M.A, Ph. D

Disusun Oleh :
Hijroh Rossiatun Annur (113711022)
Ilyana Rohmatin
Nuzul (113711023)
Imron Rosadi (113711024)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2013
PERKEMBANGAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN
I.
PENDAHULUAN
Khulafaur Rasyidin merupakan pemimpin Islam
dari kalangan sahabat, setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Mereka merupakan
pemimpin yang dipilih langsung oleh para sahabat melalui mekanisme yang
demokratis. Perjalanan empat khalifah akhirnya dipimpin oleh Abu Bakar Ash
Shiddiq, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib.
Al khulafaur Rasyidin adalah para pengganti
Nabi. Islam sebagai sebuah ajaran dan islam sebagai institusi Negara mulai
tumbuh dan berkembang pada masa tersebut. Dalam islam kedaulatan tertinggi ada
pada Allah, sehingga para pengganti nabi tidaka memilikifasilitas ekstra dalam
ajaran islam untuk menentukan sebuah hukum baru, namun mereka merupakan
pelaksanaan hukum. Untuk melaksanakan aturan-aturan atau hukum-hukum tersebut
khalifah bermusyawarah dengan para ahli hukum.
Pemerintahan khulafa’ar Rasyiddin adalah
pemerintahan yang mendapat petunjuk karena betul-betul orang yang berlaku baik,
jujur, sabar dalam berbagai hal serta betul-betul menurut pada teladan Nabi
SAW. Islam pada masa khulafa’ar Rasyidin berkembang sangat pesat, dimulai
setelah kedaulatan Nabi hingga ke timur tengah dan bahkan diluar daerah itu.
Islam dikembangkan dengan mengajarkan nilai-nilai demokratis
Dan dalam makalah ini , akan dibahas bagaimana proses
pengangkatan khulafaur Rasyidin, tentang perjalanan roda
pemerintahannya, sarta jasa-jasanya terhadap Agama Islam, karena pembahasan
pokok dalam makalah ini ialah perkembangan islam masa Khulafaur-Rasyidin
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Bagaimana proses pemilihan khulafaur Rasyidin?
B.
Bagaimana perkembangan islam pada masa Abu Bakar?
C.
Bagaimana perkembangan islam pada masa Umar bin Khattab?
D.
Bagaimana perkembangan islam pada masa Usman bin Affan?
E.
Bagaimana perkembangan islam pada masa Ali bin Abi Thalib?
III.
PEMBAHASAN
A. Proses Pemilihan Khulafaur Rosyidin
1. Pemilihan Abu Bakar Menjadi Khalifah
Namanya adalah Abdullah bn Ab Quhafah Attamn. Di zaman pra islam
bernama Abdullah ibn ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia
termasuk salah seorang sahabat yang utama. Julukannya Abu Bakar (bapak pemagi)
karena dari pag-pag betul memeluk agama islam, gelarnya ah-shiddiq kerena ia
selalu membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama isra’ Mi’raj. Jadi
Nabi Muhammad sering kali menunjukkannya untuk mendampunginya disaat penting
atau jika berhalangan dan rasul tersebut mempercayainya sebagai pengganti untuk
menangani tugas-tugas keagamaan.
Ketika
Rasulullah wafat kalangan Anshar mengadakan pertemuan di bani Saidah
bermusyawarah untuk menggantikan kedudukan Imamah-Nya berita itu
secepat kilat terdengar oleh kalangan Muhajirin, mendengar berita itu kaum
Muhajirin beramai-ramai untuk pergi ke persidangan tersebut, tetapi dicegah
oleh Abu Bakar, setelah berunding maka yang pergi sebagai delegasi dari
Muhajirin yaitu : Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Abu Ubaidah bin Jarrah ra.
Setelah
keduanya bertemu ( delegasi Muhajirin dan Anshar ) terjadi perdebatan sengit
antara keduanya, mereka saling mengklaim bahwa yang berhak menjadi pengganti
Rasulullah, adalah dari golongan mereka sendiri, dengan pertimbangan yang
matang Abu Bakar ra yang terpilih sebagai Khalifah Rasulullah.
Orang-orang yang
tadinya ragu-ragu untuk memberikan bai’at kepada Abu Bakar dan di kala golongan
terbanyak dari kaum muslimin telah membai’atnya maka kaum anshar segera memberi
bai’atnya.Sesudah Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, beliau berpidato. Dalam
pidatonya beliau menjelaskan siasat pemerintahan yang akan dijalankannya. Ada
beberapa prinsip-prinsip yang diucapka dalam pidatonya.
“Wahai manusia!Saya telah diangkat
untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di
antaramu. Maka jikalau aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku,
tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat,
saya pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedang orang
yang kamu pandang lemah, saya pandang kuat, hingga saya dapat mengembalikan
haknya kepadanya.Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan
Rosul-Nya, tetapi bilamana aku tiada menaati Allah dan Rosul-Nya kamu tak perlu
menaatiku”.[1]
2. Pemilihan Umar bin Khattab Menjadi Khalifah
Setelah
memerintah lebih kurang dua tahun, khalifah Abu Bakar jatuh sakit. Saat itu
timbul kecemasannya, apabila ia tidak menentukan orang yang akan menggantikan
jabatannya. Profil yang akan menggantikan hendaknya orang yang tegas, tetapi
tidak kejam, orang yang ramah, tetapi tidak lemah. Menurut pandangan Abu Bakar
orang seperti inilah yang mampu memelihara persatuan ummat Islam dan membendung
ancaman yang datang dari luar.
Menurut
pandangan Abu Bakar orang yang memiliki kriteria seperti itu ialah Umar bin
Khattab dan Ali bin Abi Thalib. Tetapi Abu Bakar cenderung memilih Ummar bin
Khattab. Alasanya disamping pandangannya tersebut, Ummar bin Khattab adalah
seorang tokoh sahabat yang terdekat dengannya selama menduduki jabatan khalifah
dan memiliki andil dalam pengangkatannya menjadi khalifah pada peristiwa
saqifah bani sa’idah. Tetapi, Abu Bakar tidak bertindak otoriter.Ia
memperhatikan saran-saran dan pendapat dari tokoh-tokoh sahabat yang lain, baik
dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Sebelum mengambil keputusan, Abu Bakar
meminta pendapat Abdurahman bin ‘Auf, Usman bin Affan, Said bin Zaid
danlain-lainnya. Dari hasil pengumpulan pendapat itu diketahui bahwa pada
umumnya tokoh-tokoh sahabat menyetujui penunjukkan Umar bin Khattab sebagai
calon pengganti khalifah Abu Bakar. Oleh karena itu Abu Bakar secara resmi
membuat surat pengangkatan Ummar bin Khattab sebagai orang yang akan menduduki
jabatan khalifah, apabila Abu Bakar wafat. Di antar isi surat pengangkatan
tersebut berbunyi :
“Dengan nama Allah ynag MAha
Pengasih dan Penyayang. Ini pernyataan Abu Bakar bin Qahafah pada akhir
hayatnya di dunia yang akan ditinggalkannya dan awal masanya ke akherat yang
akan ditujunya. Sesungguhnya saya telah mengangkat Umar bin Khattab menjadi
khalifahuntukmu. Apabila dia berlaku adil, maka itulah alasan dan harapan saya
padanya.Tetapi apabila dia berubah dan beralih sikap, maka yang saya kehendaki
hanyalah kebaikan dan saya belum mengetahui sesuatu yang belum terjadi”.[2]
3. Pemilihan Usman ibnu Affan Menjadi Khalifah
Pada waktu Umar
terkena tikam, beliau tidak bermaksud akan mengangkat penggantinya.
Faktor-faktor yang mendorong Umar untuk menunjuk penggantinya sudah tidak ada
lagi. Balatentara islam telah mendapatkan kemenangan, dan keadaan telah stabil.
Tetapi kaum muslimin khawatir akan terjadi peparangan sesudah Umar meninggal
dunia, oleh karena itu mereka mengusulkan agar Umar menunjuk siapa yang akan
jadi pengganti beliau.
Beliau tidak
ingin kaum muslimin terpecah belah.Oleh karena itu beliau mengambil jalan
tengah. Beliau mencalonkan enam orang sahabat rosulullah, yaitu Usman bin
Affan, Ali ibnu Abi Thalib, Thalhah, Zubair ibnu Awwam, Sa’ad ibnu Abi Waqqash dan
Abdur Rahman ibnu Auf. Mereka diberi jangka waktu oleh Umar untuk memilih, dan
pemilihan harus selesai dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.
Setelah Umar
berpulang kerahmatullah, maka keenam sahabat yang telah ditunjuk oleh Umar
segera bermusyawarat. Abdur Rahman ibnu Auf mengusulkan agar dia diperkenankan
mengundurkan diri dan beliau akanbermusyawarat dengan kaum muslimin untuk
memilih seseorang untuk menjadi kholifah di antar sahabat-sahabat yang telah
ditunjuk oleh Umar.
Usul Abdur
Rahman ibnu Auf diterima oleh para sahabat, dan diadakan perjanjian. Bahwa
sahabat akan memenuhi usulan Abdur Rahman, dan Abdur Rahman berjanji akan
berlaku Adil. Maka bermuswaratlah Abdur rahman ibnu Auf dengan segenap lapisan
kaum muslimin, begitu juga dengan para sahabat yang telah ditunjuk oleh
Umar.Dari permusyawaratan itu mereka berpendapat bahwa antara Usman dan Ali
yang menjadi khalifah.Namun dengan pertimbangan umur Usman yang lebih tua dan
perilakunya lebih lunak maka diputuskan Usman yang menjadi khalifah.[3]
4. Pemilihan Ali ibnu Abi Thalib Menjadi Khalifah
Dalam
pengangkatan Ali menjadi khalifah terjadi perselisihan karena ada pihak yang
tidak setuju Ali diangkat menjadi khalifah.Yang tidak menyukai Ali diangkat
menjadi khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak, tetapi golongan kecil
(keluarga Umaiyah).Oleh karena itu pembai’ahan Ali adalah pembai’ahan dari
rakyat terbanyak, yakni orang-orang yang telah menjatuhkan Usman.Bersama dengan
orang-orang yang menggabungkan diri kepada mereka, mereka datang kepada Ali untuk
membai’at beliau.[4]Ali
ibnu Abi thalib diangkat sebagai khalifah secara sah.Ia dibai’at oleh penduduk
Muhajirin, Anshar dan massa lainnya, pada hari jum’at 13 Dzulhijjah 35 Hijriyah
(656 masehi). Di antar orang yang pertama membai’at beliau adalah sahabat
Thalhah.[5]
Setelah
peristiwa pembunuhan Usman ibnu Affan, kota Madianah dilanda ketegangan dan
kericuhan. Walikota Madinah, Al-Ghafiqi ibnu Harb, mencari-cari orang yang
pantas untuk dibaiat sebagai khalifah. Para penduduk Mesir meminta Ali untuk
memangku kekhalifahan namun ia enggan dan menghindar. Para penduduk Kuffah
mencari-cari Zubair ibnu Al-Awwam, namun mereka tak menemukannya. Penduduk
Bhasarah meminta Thalhah untuk menjadi khalifah namun ia tidak memenuhi
permintaan mereka. Akhirnya mereka berkata, “kita tidak akan menyerahkan
kekhalifahan kepada ketiga orang ini”.
Setelah itu
mereka mendatangi Sa’ad ibnu Abi Waqhas dan berkata, “Kau termasuk diantara
dewan Syura”, Namun ia menolak. Lalu ia mendatangi ibnu Umar, yang juga
menolaknya.
Akhirnya mereka
menetapkan bahwa yang bertanggung jawab adalah penduduk Madinah sehingga mereka
berkata kepada penduduk Madinah, “Kalianlah yang bertanggung jawab. Kami akan
memberi waktu selama dua hari. Jika selama itu kalian tidak menghasilkan
keputusan, demi Allah kami akan membunuh Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang
lainnya”.
Maka orang-orang
mendatangi Ali dan berkata, “Kami membaiatmu, karena kau telah menyaksikan
rahmat yang diturunkan oleh Allah bersama islam dan karena saat ini kita
menghadapi ujian yang sangat berat berupa konflik antar berbagai kota”. Ali
menjawab, “tinggalkanlah aku dan carilah orang lain yang lebih baik dariku,
karena aku akan menghadapi suatu masalah yang sangat rumit dan pelik, masalah
yang tidak akan mampu dihadapi oleh hati dan fikiran siapapun.Namun mereka
bersikukuh membaiat Ali ibnu Abi Thalib.[6]Ia
dibai’at oleh penduduk Muhajirin, Anshar dan massa lainnya, pada hari jum’at 13
Dzulhijjah 35 Hijriyah (656 masehi). Di antara orang yang pertama membai’at
beliau adalah sahabat Thalhah.[7]
B. Perkembangan Islam pada Masa Abu Bakar
Abu bakar mempunyai nama asli yaitu Abdullah bin Abi Quhafah
at Tamimi. Ia dikenal dengan sebutan Ash-Shiddiq (yang membenarkan) karena
segera membenarkan Rasul dalam berbagai peristiwa terutama Isra’ Mi’raj. Ia
memiliki watak yang kuat, jujur dan dinamis, berperawakan sedang, berwajah
mungil dan kulit cerah. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar yang singkat yaitu dua
tahun (632-634 M) tepatnya 2 tahun 3 bulan 11 hari, banyak terjadi peperangan
riddah (perang melawan pembelotan dan kemurtadan).
Kemunculan
riddat itu bermula dengan kemunculan tiga tokoh yang menyatakan Nabi
yaitu : Musailamah Al-Kadzab, Thulaihah bin Khuwailid, dan Al-Aswad Al-Insa,
dengan adanya tokoh tersebut, banyak murtadin bergabung dengan mereka untuk
menghadapi kaum muslimin untuk menguasai tanah Arab. Memang ketika Fathul
Mekkah banyak dari suku-suku jazirah arab menyatakan ke Islamannya, akan tetapi
ke Islamaanya belum sepenuhnya matang dalam sanubarinya, sehingga mereka banyak
yang membelot.
Dengan
banyaknya kaum riddat dan adanya statmen dari orang-orang yang enggan membayar
zakat membuat khalifah khawatir, Islam yang dibangun oleh Nabi dengan
kesempurnaan perundang-undangan dalam segala hal, kalau tidak cepat
bertindak akan kembali kezaman jahiliah. Abu
Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan dua pilihan yaitu tunduk tanpa syarat
atau diperangi hingga binasa. Hingga Akhirnya Khalifah berunding dengan para
sahabat dan memutuskan untuk memeranginya, dan peperangan tersebut kaum
muslimin dapat meluluh lantakkan kaum riddat yang dipimpin oleh Khalid bin
Walid ra.
Dalam waktu enam bulan, beberapa suku Arab Tengah telah
ditaklukkan seperti suku Thayyi, suku Asad, suku Thulayhah dan Bani Hanifah di
Yamamah. Musaylamah (seorang nabi palsu) memberi perlawanan sehingga banyak
pasukan Islam yang terdiri dari para penghafal Al-Qur’an gugur yang
dikhawatirkan musnahnya orang-orang penghafal Al-qur’an.
Pada tanggal 30 Juli 634 M gabungan pasukan Arab berhasil
memperoleh kemenangan di Ajnadain yang melapangkan Khalid menuju Palestina. Di
saat itulah, Khalifah Abu Bakar meninggal dunia pada hari senin, 23 Agustus 634
M setelah terbaring sakit selama 15 hari. Sejumlah kemajuan telah dicapai pada
masa Abu Bakar. Selain menumpas para pemberontak (kemurtadan dan nabi palsu
Musyailamah dan Tulaihah) dan memperluas daerah Islam, Abu Bakar juga telah
berjasa dalam gagasannya melakukan pengumpulan naskah-naskah Al-Qur’an yang
sebelumnya masih berserakan (kodifikasi Al-Qur’an).[8]
Dalam masalah peradilan, Abu Bakar mengikuti jejak Nabi
Muhammad SAW., yakni ia sendirilah yang memutuskan hukum di antara umat Islam
di Madinah. Sedangkan para gubernurnya memutuskan hukum di antara manusia di
daerah masing-masing di luar madinah. Adapun sumber hukum pada Abu Bakar adalah
Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad setelah pengkajian dan musyawarah dengan para
sahabat. Dapat dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Abu Bakar ada tiga
kekuatan, pertama, quwwat al-syari’ah (legislatif), kedua, quwwat al-qadhaiyyah
(yudikatif di dalamnya masuk peradilan) dan ketiga, quwwat al-tanfiziyyah
(eksekutif).[9]
Pada
masa pemerintahannya, khalifah Abu Bakar telah dapat menyelesaikan perselisihan
yang timbul dalam kalangan umat Islam. Menundukkan orang murtad ke bawah
bendera Islam. Dan mengirim tentara ke negeri Persi dan Rumawi untuk membawa
umat kepada perdamaian dan persamaan.[10] Pemerintahan
Abu Bakar ra adalah pemerintahan Syura yang berdasarkan permusyawaratan, dan
merintis kesatuaan politik negeri arab setelah kesatuaan agama dapat diselesaikan,
pemerintahan Abu Bakar sudah berkembang dan meluas ke luar perbatasan kawasan
arab, tetapi belum mempunyai administrasi untuk mengurus pemerintahannya.
Dengan pemerintahan yang syura itulah dengan ijtihadnya yang kuat, Allah
memberikan kemenangan kepadanya dalam membebaskan Iraq dan Syam. Kemudian
setelah itu ia merintis pemerintah kesatuan di negeri arab atas dasar
permusyawaran dalam batas-batas perintah dan larangan Allah SWT.
Salah satu jasa
terbesar dal;am pemerintahan Abu Bakar adalah pengumpulan ayat-ayat Al Qur’an
yang pada waktu itu masih berserakan dan
belum dibukukan dalam satu mushaf. Pada waktu itu banyak penghafal Al Qur’an
yang gugur dalam peperangan Riddah sehingga dikhawatirkan penghafal Al Qur’an
semakin habis. Oleh karena itu Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk
mengumpulkan tuliasan-tulisan Al Qur’an menjadi satu buku. Khalifah kemudian
menugaskan Zaid Ibn Tsabbit untuk melaksanakan hhal tersebut. Setelah wafatnya
Abu bakar, kitab AlQur’an yang sudah dibukukan tersebut kemudian disimpan oleh
salahsatu istri Nabi, khafsah binti Umar Ibn khattab.
C. Perkembangan Islam pada Masa Umar bin Khattab
Diantara Khulafau ar-Rasyidin yang membangun peradaban Islam
adalah Umar bin al-Khattab. Umar bin Khattab bin Nufeil bin Abdil ‘Uzza ialah seorang
warga Bani ‘Adi.[11] Umar
ketika sudah menjadi Kepala Negara telah mengubah nama kepala yang semula
bergelas Khalifah al-Rasul menjadi Amir al-Muminin.[12]
Pada masa pemerintahannya beliau membentuk dewan formatur (6), sistem
administrasi, lembaga pengadilan, dan departemen-departemen, dan kepolisian.
Wilayah kekuasaannya yaitu Jazirah Arab, Palestina, Syria, Persia, dan Mesir.
Beliau membagi 8 propinsi yaitu Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Beliau juga mendirikan baitul Mal, menciptakan tahun
hijriah, dan menempa mata uang.[13]
Selain itu, Umarlah yang pertama kali menyuruh menggali terusan antara Sungai
Nil dengan Laut Merah, membangun jembatan-jembatan, menempatkan tentara di
tepi-tepi pantai untuk menjaga keselamatan negeri.[14]
Para hakim pada masa Umar merujuk kepada Al-Qur’an. Jika
tidak mendapati hukum dalam Al-Qur’an mereka mencarinya dalam sunnah. Tapi jika
mereka tidak mendapatkan sesuatu di dalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha
mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam
sunnah mengenai perkara yang dihadapi. Jika didapatkan, mereka berpedoman
dengan yang dikatakan orang yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan upaya
penguatan. Jika tidak didapatkan mereka berijtihad secara kolektif jika topik
permasalahan terdapat hubungan dengan prinsip-prinsip dasar jamaah, dan
berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan
individu.[15]
D. Perkembangan Islam pada Masa Usman bin Affan
Usman bin affan mempunyai nama lengkap Usman bin ‘Affan bin
Abil Ash bin Umayyah. Pada masa pemerintahannya Usman justru dijadikan sebagai
boneka, yang berkuasa Marwan bin Hakam. Pada saat itu, umat merasa kecewa
karena kebijaksanaan Usman yang mengangkat keluarganya sendiri dalam memegang
jabatan atau kedudukan yang tinggi.
Pada masa pemerintahannya beliau membangun bendungan dan
mengatur pembagian air, membangun angkatan perang armada laut, jalan, jembatan, masjid, dan memperluas
masjid Nabi di Madinah. Selain itu prestasi terpenting bagi khalifah utsman
ialah menulis kembali Al Qur’an yang disimpan oleh khafsah binti umar. Melihat
pertikaian umat islam dalam pembacaan Al Qur’an akhirnya utsman membentuk
panitia penulisan Al Qur’an yang diketahui oleh Zaid Ibn Tsabit. Setelah
PenulisanAl Qur’an utsman mengirimkan mushaf ke setiap kota besar, serta beliau
memerintahkan untuk membakar mushaf yang lain dari yang ditulis oleh badan yang
terdiri dari 4 orang. Ekspansi yang
dilakukan diantaranya adalah Khurasan, Iskandaria, Barqah, Tripoli Barat,
bagian selatan Nubah, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, Persepolis bagian kecil
yang tersisa dari Persia, Transoxania, Tabaristan, Iran, Azerbaizan, Harah,
Kabul dan Ghaznah.[16]
Peradilan pada masa Usman sama seperti peradilan di masa dua
sahabat sesudahnya. Usman mengutus petugas-petugas sebagai pengambil pajak
dan penjaga batas-batas wilayah untuk
menyeru amar ma’ruf nahi munkar, dan terhadap masyarakat yang bukan muslim
(ahli dzimmah) berlaku kasih saying dan lemah lembut serta berlaku adil
terhadap mereka. Usman memberikan hukuman cambuk terhadap orang yang biasa
minum arak, dan mengancam setiap orang yang berbuat bid’ah dikeluarkan dari
kota Madinah, dengan demikian keadaan masyarakat selalu dalam kebenaran.[17]
Situasi politik pada masa akhir pemerintahan Utsman semakin
mencekam dan timbul berbagai pemberontakan-pemberontakan yang mengakibatkan
terbunuhnya Utsman. Khalifah Utsman wafat pada hari Jum’at, 18 Dzulhijjah tahun
35 H pada usia 82 tahun. Ketika itu para
pemberontak berhasil memasuki rumahnya dan Membunuh Utsman saat sedang membaca
Al Qur’an. Khalifah Usman mempunyai sikap yang lemah lembut, tidak seperti Umar
yang tegas dan keras. Dari segi itulah Abdullah bin Saba’ dapat menghembuskan
fitnah.[18]
E. Perkembangan Islam pada Masa Ali bin Abi Thalib
Saidina Ali r.a adalah anak
Abu Thalib bin Abdil Muthalib bin
Hasyim. Ia lebih muda dari Rasul Allah s.a.w 32 tahun lamanyya. Ali selalu
turut ke medan perang kecuali perang Tabuk karena diangkat Rasul menjadi penggantinya
di Madinah.[19]
Pada masa pemerintahannya, Ali bin Abi Thalib memindahkan
pusat pemerintahan ke Kufah. Beliau memecat para gubernur yang diangkat oleh
Usman dan mengirim kepala daerah yang baru yang menggantikan. Selain itu beliau
menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Usman kepada keluargan dan
kerabat Usman menjadi milik negara. Ali bin Abi Thalib juga melaksanakan
kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar.
Pada masa pemerintahannya beliau dihadapi
beberapa masalah yang sangat berat, yang mana, itu membuat beliau tidak bisa
memperluas kekuasaan Islam karena ada permasalahan intern dalam umat Islam. Diantaranya muncul
pemberontakan yang dipimpin oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah. Pemberontakan ini
dikenal dengan nama “perang Jamal” (perang Unta) dan perang ini dimenangkan
oleh Ali. Selain itu, muncul pemberontakan yang dilakukan oleh Muawiyah yang dikenal dengan perang shiffin. ketika terjadi peperangan yang kemenangan akan berpihak
ke Khalifah Ali bin Abi Thalib ra maka dari pihak Mu’awiyah bin Abi
Sufyan ra mengangkat mushaf supaya menghentikan peperangan. Kalifah Ali bin Abi Thalib
menyetujui dan dari keduanya saling mengutus utusan untuk berunding dari pihak
Ali bin Abi Thalib ra adalah Abu Musa Asy’ari dan dari pihak Mu’awiyah bin Abi
Sufyan ra adalah Amr bin Ash ra yang dikenal dengan Tahkim.
Ketika ada tahkim dari pihak Khalifah Ali bin Abi Thalib ada
yang menyetujui adanya tahkim dan ada pula yang tidak setuju, yang pendukung
dinamakan Syi’a dan yang tidak mendukung dinamakan Khawrij. Karena kaum
Khawarij sangat keras kalau memutuskan hukum, siapa saja yang tidak sepaham
dengan mereka sampai-sampai dikatakan kafir dan hukumannya harus dibunuh, oleh
karena itu Khalifah Ali bin Abi Thalib ra dan pendukungnya, Mu’awiyah maupun
pendukungnya, mereka ( Khawarij ) menganggap mereka orang-orang kafir. Sehingga
mereka merencanakan untuk membunuh Khalifah dan Mu’awiyah ra. Yang pertama
Abdur-Rahman bin Muljam al-Himyari yang akan berangkat ke Kufah untuk membunuh
Amirulmukminin Ali ra, yang kedua al-Burak atau al-Hajjaj bin Abdullah
at-Tamimi dua nama yang masih rancu ke Syam untuk membunuh Mu’awiyah bin Abi
Sufyan ra, dan yang ketiga ke Mesir Amr bin Bakr Attamimi untuk membunuh Amr
bin Ash ra. Tapi yang berhasil dibunuh hanya Amirulmukminin Ali ra oleh Abdur-
Rahman bin Muljam al-Himyari dan beliau wafat pada 20 Ramadhan 40 H / 24 Januari 661 M
Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk
mengembangkan hukum Islam, karena keadaan negara tidak stabil. Ali menetapkan
hukum di antara manusia selama di Madinah. Ketika keluar ke Bashrah dia
mengangkat Abdullah bin Abbas sebagai gantinya di Madinah, dan mengangkat Abu
Aswad al-Du’ali dalam masalah pemerintahan di Bashrah dan sekaligus dalam
peradilan. Namun kemudian, dia dipecat setelah beberapa waktu karena banyaknya
dia berbicara. Sebab bicaranya melebihi pembicaraan dua pihak yang berseteru
(penggugat dan tergugat). Ali mengangkat al-Nakha’I sebagai Gubernur di Ustur.
Ali berpesan agar al-Nakha’i bertaqwa
kepada Allah Swt., agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan kepada
rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasihat-penasihat.[20]
IV.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan keempat khalifah yang memimpin setelah Rosulullah wafat dapat
dipahami bahwa, pemerintahan khulafa’ar Rasyiddin adalah pemerintahan yang
mendapat petunjuk karena betul-betul orang yangberlaku baik, jujur, saba dalam
berbagai hal serta betul-betul menurut pada teladan Nabi SAW.
Islam
pada masa khulafa’ar Rasyidin berkembang sangat pesat, dimulai setelah
kedaulatan Nabi hingga ke timur tengah dan bahkan diluar daerah itu. Islam
dikembangkan dengan mengajarkan nilai-nilai demokratis terutama
dalam pengangkatan seorang khalifah. Ini bisa dilihat dalam berbagai peristiwa
pengangkatan khulafa’arRasyidin walaupun caranya berbeda tetapi intinya tetap
sama, yaitu menjunjung nilai bermusyawarah untuk mufakat.
Pada waktu
pengangkatan Abu bakar menjadi khalifah dimana pengangkatan didasarkan
musyawarah dari berbagai pemuka suku sehingga tercapai sebuah keputusan Abu
Bakar Menjadi Khalifah. Pengangkatan Umar sangat berbeda dimana ia dicalonkan
Abu bakar karena kemampuan yang dimiliki. Walaupun demikian, Abu Bakar telah
melalui proses meminta pendapat/musyawarah dengan sahabat-sahabat senior.
Sedangkan utsman Ibn Affan dipilih oleh suatu dewan ahli atau8 tim formatur
yang dibentuk oleh Umar. Tim itu di bentuk untuk menghiondari kemelut politik
yangterjadi.Dan Ali Ibn Abi Thalib lebih berbeda dimana beliau dipilih dan
dibai’at oleh pemberontak yang menggolongkan Utsman dengan tuduhan nepotisme
dan tidak tegas dalam mengambil sikap terhadap penyalahgunaan harta Negara.
Pada masa Abu
Bakar, beliau berhasil mengatasi berbagai persoalan diantaranya menumpas
nabi-nabi palsu serta orang-orang islam yang enggan membayar zakat. Setelah
kondisi tersebut terkendali dengan kekalahannya kaum riddat, Khalifah mengutus
sahabat kebeberapa daerah untuk menyebarkan dahwah islam. Dan pada masa Abu
bakar islam juga telah mengalami perluasan wilayah diantaranya sampai ke Iraq,
palestina, yordania dan syiria. Selain itu jasa terbesar beliau adalah
pengumpulan naskah-naskah Al Qur’an yang masih berserakan yang mana
dikhawatirkan hilangnya Al Qur’an karena banyak penghafal Al Qur’an yang gugur
dalam peperangan.
Pada masa pemerintahan
umar Ibn Khattab wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syiria, sebagian besar wilayah Persia’ dan Mesir. Beliau yang
membentuk administrasi pemerintahan menjadi delapan wilayah propinsi: Mekkah
Madinah, Syiria, Jazirah, Bashrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Selain
itu, Umarlah yang pertama kali menyuruh menggali terusan antara Sungai Nil
dengan Laut Merah, membangun jembatan-jembatan, menempatkan tentara di
tepi-tepi pantai untuk menjaga keselamatan negeri. Dan ditertibkan sistem
pembayaran gaji dan pajak tanah. Dan juga membebaskan Baitul Maqdis beliau
membentuk dewan formatur (6), sistem administrasi, lembaga pengadilan, dan
departemen-departemen, dan kepolisian dan juga mendirikan baitul mal, menempa mata
uang, dan yang menciptakan tahun hijriah.
Pada masa Utsman Ibn Affan Beliau meneruskan perluasaan hingga sampai Armenia,
Tunisia, Cyprus, Rhodes, bagian yang tersisa di Persia, Transoxania, dan
Tabaristan. beliau membangun bendungan dan mengatur
pembagian air, membangun angkatan perang
armada laut, jalan, jembatan, masjid, dan memperluas masjid Nabawi
di Madinah.
Selain itu beliau juga berjasa membukukan Al Qur’an dalam satu mushaf Dan
menyatukan bacaan Al-Qur’an.
Pada pemerintahan Ali
Ibn Abi Thalib tidak banyak yang dapat diberbuat untuk mengembangkan hukum
Islam, karena keadaan negara tidak stabil Beliau ingin memulihkan situasi yang sedang tidak terkendali
itu kembali seperti masa Khalifah Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra. Beliau
menarik kembali harta dan tanah yang dihadiahkan Usman kepada keluargan dan
kerabat Usman menjadi milik negara. Ali bin Abi Thalib juga melaksanakan
kembali sistem pajak yang pernah diterapkan Umar
B.
SARAN
Demikian
makalah yang penulis susun. Adapun kesalahan dan kekurangan yang ada pada
makalah ini, penulis mohon maaf. Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca
sangat penulis harapkan untuk upaya penyempurnaan makalah ini dan semoga dalam pembuatan makalah- makalah selanjutnya bisa lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Jakub,
Ismail ,1972, Tarich Islam, Jakatra:
Widjaya Jakarta
Karim, M. Abdul, 2007, Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book publisher.
Khoiriyah,
2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam
Dari Arab sebelum Islam hingga Dinasti-dinasti Islam, Yogyakarta: Teras
Koto,
Alaiddin ,2012, Sejarah Peradilan Islam, Jakatra: Rajawali Pers
Murad, Musthafa, 2009, Kisah Hidup Ali Ibnu Abi Thalib,
Jakarta: Zaman.
Solikhin, M., 2005, Sejarah Peradaban Islam,Semarang: Rasail
Sunanto,
Musyrifah, 2011, Sejarah Islam Klasik,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Syalabi, A., Sejarah Dan
Kebudayaan Islam,Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
Syaf,
Mahyuddin, dkk, 1992, Mengenal Pola
Kepemimpinan Umat Dari Karakteristik Perihidup Khalifah Rasulullah,
Bandung: CV Diponegoro
Syukur, Fatah, 2009, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra.
[1]Prof.
Dr. A. syalabi.Sejarah Dan Kebudayaan Islam.(Jakarta: PT. Al Husna Zikra.
1997). hlm 226-227
[2]
M. Solikhin. Sejarah Peradaban Islam. (Semarang: Rasail, 2005). hlm 9-10
[3]Prof. Dr.
A. syalabi.Sejarah Dan Kebudayaan Islam.(Jakarta: PT. Al Husna Zikra. 1997).
Hlm 267-268
[4]Prof. Dr.
A. syalabi.Sejarah Dan Kebudayaan Islam.(Jakarta: PT. Al Husna Zikra. 1997).
Hlm 283
[5]M.
Solikhin. Sejarah Peradaban Islam. (Semarang: Rasail, 2005). Hlm 23
[6]
Musthafa Murad, Kisah Hidup Ali Ibnu Abi Thalib. (Jakarta: Zaman, 2009) hlm.
68-70
[7]M.
Solikhin. Sejarah Peradaban Islam. (Semarang: Rasail, 2005). Hlm 23
[8]
Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam Dari Arab sebelum Islam
hingga Dinasti-dinasti Islam, Yogyakarta: Teras, hlm. 56-58
[9]
Alaiddin Koto, 2012, Sejarah Peradilan Islam, Jakatra: Rajawali Pers, hlm.
59-60
[10]
Ismail Jakub, 1972, Tarich Islam, Jakatra: Widjaya Jakarta, hlm. 31-32
[11]
Mahyuddin Syaf, dkk, 1992, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat Dari Karakteristik
Perihidup Khalifah Rasulullah, Bandung: CV Diponegoro, hlm. 128
[12]
Musyrifah Sunanto, 2011, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, hlm. 23
[13]
Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam Dari Arab sebelum Islam
hingga Dinasti-dinasti Islam, Yogyakarta: Teras, hlm. 65
[14]
Ismail Jakub, 1972, Tarich Islam, Jakatra: Widjaya Jakarta, hlm. 64
[15]
Alaiddin Koto, 2012, Sejarah Peradilan Islam, Jakatra: Rajawali Pers, hlm.
66-67
[16]
Khoiriyah, 2012, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam Dari Arab sebelum Islam
hingga Dinasti-dinasti Islam, Yogyakarta: Teras, hlm. 66
[17]
Alaiddin Koto, 2012, Sejarah Peradilan Islam, Jakatra: Rajawali Pers, hlm. 69
[18]
Ismail Jakub, 1972, Tarich Islam, Jakatra: Widjaya Jakarta, hlm. 77
[19]
Ismail Jakub, 1972, Tarich Islam, Jakatra: Widjaya Jakarta, hlm. 79
[20]
Alaiddin Koto, 2012, Sejarah Peradilan Islam, Jakatra: Rajawali Pers, hlm.
70-71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar